Ketimpangan akses kerja bagi penyandang disabilitas masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Data dan pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa kelompok difabel kerap tersingkir dari dunia kerja formal, bukan karena kurangnya kemampuan, tetapi karena kurangnya ruang dan pemahaman inklusif.
Menjawab tantangan itu, Universitas Hasanuddin melalui Subdirektorat Penyiapan Karir, Direktorat Kemahasiswaan menyelenggarakan Career Talk bertajuk “Mengelola Kafe dengan Kesadaran Inklusif”, Sabtu (10/5), yang menjadi titik temu antara advokasi, pemberdayaan, dan aksi nyata di lingkungan kampus.
Menghadirkan Fadly Rachman, Program Development Manager Cafe Tulus dan AksesHUB, kegiatan ini bukan sekadar sesi motivasi. Fadly mengajak belasan mahasiswa difabel untuk memahami bagaimana ide wirausaha bisa menjadi alat untuk melawan diskriminasi, membangun ruang kerja yang setara, dan membuktikan bahwa difabel bukan objek belas kasihan, melainkan subjek perubahan.
“Saya menyadari adanya ketimpangan, rendahnya penempatan tenaga kerja disabilitas. Secara nasional, hanya sekitar 46,6 persen penyandang disabilitas yang berpartisipasi di pasar tenaga kerja. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor formal dengan upah rendah,” ujar Fadly tentang lahirnya ide untuk membangun Cafe Tulus, kafe inklusif pertama di Makassar.
Fadly juga menyinggung kewajiban hukum yang belum terpenuhi. Ia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mewajibkan perusahaan swasta untuk mempekerjakan minimal 1 persen penyandang disabilitas, dan 2 persen untuk sektor pemerintah dan BUMN.
“Namun, implementasi di Sulawesi Selatan masih sangat minim, menunjukkan adanya kesenjangan antara regulasi dan praktik di lapangan,” tambahnya.
Fadly menambahkan, faktor penyebab ketimpangan tersebut salah satunya adalah stigma dan diskriminasi. Menurutnya masih banyak masyarakat dan pemberi kerja yang meragukan kemampuan penyandang disabilitas.
“Fasilitas kerja yang tidak ramah disabilitas menghambat partisipasi mereka. Termasuk keterbatasan dalam akses pendidikan dan pelatihan kerja membuat penyandang disabilitas kurang kompetitif di pasar kerja,” tambahnya.
Salah satu mahasiswa difabel netra Unhas, Nabila May Sweetha membenarkan bahwa realitanya memang teman-teman difabel masih sangat kesulitan mendapatkan pekerjaan.
“Walaupun misalnya di undang undang nomor 8 tahun 2016 tentang disabilitas itu sudah disebutkan, tapi pada kenyataannya memang dalam proses rekrutmen itu belum semua terpenuhi,” ujarnya.
Menurut mahasiswa Ilmu Politik ini, tantangan teman difabel masih sangat berat. Padahal, menurutnya teman difabel bisa asalkan diberi kesempatan untuk mengakses berbagai bidang pekerjaan. Secara pribadi ia pun berharap suatu saat nanti dapat mewujudkan cita-citanya menjadi dosen.
Kepala Career Center Unhas, Burhan Kadir, S.S.,MA mengatakan, kegiatan yang digagas ini menjadi pengingat pentingnya peran kampus dalam menghadirkan ekosistem pembelajaran yang inklusif.
"Apa yang disampaikan oleh pemateri hari ini membuka mata kita bahwa tantangan terbesar bukan hanya pada akses kerja, tapi juga pada stigma dan kurangnya ruang pembelajaran yang sesuai bagi teman-teman difabel. Karena itu, Career Center hadir untuk tidak hanya memfasilitasi pencarian kerja, tapi juga menyiapkan ruang-ruang pelatihan dan pengembangan keterampilan yang berpihak, agar mereka bisa bersaing dan bahkan menciptakan lapangan kerja sendiri," ujarnya.